Selasa, 01 April 2014

Understanding the Meaning of "Ogoh-ogoh" Before the celebration of Nyepi in Bali.


This article has a mission similar to the previous article, let us learn to understand the cultural wealth of our country, to prevent misunderstandings that could lead to a split.
Artikel ini memiliki misi yang sama dengan artikel sebelumya, mari kita belajar memahami kekayaan budaya negara kita, untuk mencegah kesalah pengertian yang dapat menimbulkan perpecahan.

Honestly I personally always wondered why the Hindus in Bali held a "ritual" parading a giant statue commonly called "Ogoh-ogoh", whether they worship the demon? Jujur saya pribadi selalu bertanya-tanya mengapa umat Hindu di Bali mengadakan "ritual" mengarak patung raksasa yang biasa disebut "Ogoh-ogoh", apakah mereka memuja raksasa tersebut ?

Second misunderstanding me, why in Bali are found many "giant statue" scary, almost everywhere even in the holiest place in the Temple for example. The question is whether they worship the demon? My understanding (personal) is a giant symbol of evil.
Kesalah pengertian saya yang kedua, mengapa di Bali banyak ditemukan banyak "Patung Raksasa" yang menakutkan, hampir di semua tempat bahkan di tempat tersuci misal di Pura. Pertanyaanya apakah mereka memuja raksasa tersebut ? Pemahaman saya (pribadi) raksasa merupakan simbol kejahatan.

Incidentally, last year I traveled to Bali and asked to Guide Tour tesebut me about the existence of "The Giant Evil" is. 
Kebetulan tahun kemarin saya berwisata ke Bali dan menanyakan hal tesebut kepada Guide Tour saya perihal keberadaan "Para Raksasa" tersebut.

According to the tour guide in Bali mememang giant statue symbol of evil elements, both in the ourselves, and in the universe (see beyond ourselves). Regarding the outside of us you would have understood, they are occupants of "another world" around us.
Kebetulan tahun kemarin saya berwisata ke Bali dan menanyakan hal tesebut kepada Guide Tour saya perihal keberadaan "Para Raksasa" tersebut.

Thing to note is the giant in us, the giant is a symbol of all the evil elements within us that hinder / interfere with our relationship with God , he is the evil thoughts, lust, all of the negative nature of the self and others. To be able to relate well with God according to the sanctity of human nature, we must find out and beat them, so that we can become a sacred personal suit our nature as human beings.
Menurut guide tour patung raksasa di Bali mememang simbol unsur jahat, baik yang ada di dalam diri kita, maupun di alam semesta (baca diluar diri kita). Mengenai yang di luar diri kita anda pasti sudah paham, mereka adalah penghuni "dunia lain" di sekitar kita. Yang perlu diketahui raksasa tersebut ada dalam diri kita, raksasa tersebut adalah simbol segala unsur jahat dalam diri kita yang menghambat/ mengganggu hubungan kita dengan Tuhan, ia adalah pikiran jahat, hawa nafsu, semua sifat diri yang negatif dan lain-lain. Untuk dapat berhubungan baik dengan Tuhan sesuai kodrat kesucian manusia, kita harus mengetahui dan mengalahkan mereka, sehingga kita bisa menjadi pribadi suci sesuai kodrat kita sebagai manusia.

Why there is a statue of the holy place?
Mengapa ditempat suci terdapat patung tersebut ?


Sacred places are just "place", we are "air-worship Hyang" (read-pray) personally, if when we are "air-worship Hyang" we are still debauched and evil nature, our vain "Air-worship Hyang ". To be "air-worship Hyang" good we should be able to defeat all the evil that is in us. In the local joke joke: children are taught "Air-worship Hyang" with eyes closed, while opening the eyes of a giant statue of the "still seems scary" means we are still controlled by the "evil".
Tempat suci hanyalah "tempat", kita "ber-sembah Hyang" (baca-berdoa) secara pribadi, jika saat kita "ber-sembah Hyang" diri kita masih dikuasai hawa nafsu dan sifat jahat, sia-sia kita "ber-sembah Hyang". Untuk dapat "ber-sembah Hyang" yang baik kita harus dapat mengalahkan semua kejahatan yang ada dalam diri kita. Secara bercanda sang guide berseloroh : anak anak diajarkan "ber-sembah Hyang" dengan mata tertutup, saat membuka mata patung raksasa tersebut "masih nampak menakutkan" berarti kita masih dikuasai "kejahatan".

I asked, Lha giant statue whose name we closed his eyes how tahunpun when we open the eyes of course still a giant statue, Lha then how?
Saya bertanya, lha yang namanya patung raksasa kita memejamkan mata berapa tahunpun ketika kita membuka mata tentunya masih berupa patung raksasa, lha trus bagaimana? 

Sang guide casually replied "As long as we still live in the world, the nature of evil still exists in us", we usually reduce its appearance in our lives and try to live as best- The good that when we die later the evil giant does not "take us to hell ....
Sang guide dengan enteng menjawab "Selama kita masih hidup di dunia, sang sifat jahat masih ada dalam diri kita", kita bisanya mengurangi kemunculannya dalam kehidupan kita dan berusaha hidup sebaik-baiknya agar saat kita meninggal nanti sang raksasa jahat tersebut tidak "membawa kita ke neraka....


About the statue you can understand it as follows:
the statue is a work of sculpture in Balinese culture that reflects the personality Bhuta Kala. In the teachings of Hindu Dharma, Bhuta Kala represents strength (Bhu) universe and time (Kala) is not measurable and irrefutable.
Perihal Ogoh-ogoh anda dapat memahaminya sebagai berikut :
Ogoh-ogoh adalah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan.

In the embodiment of the statue in question, Bhuta Kala described as large and intimidating figure, usually in existence Rakshasa.
Dalam perwujudan patung yang dimaksud, Bhuta Kala digambarkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan; biasanya dalam wujud Rakshasa.

In addition there Rakshasa, the statue was often depicted in existence beings who live in Mayapada, Heaven and Naraka, such as dragons, elephants, Widyadari, even In the process, some are made to resemble famous people, such as the leaders of the world , artist or even religious figures villains. Related to this, there are political overtones or SARA although this actually deviate from the basic principles of the statue. For example, the statue which depicts a terrorist.
Selain wujud Rakshasa, Ogoh-ogoh sering pula digambarkan dalam wujud makhluk-makhluk yang hidup di Mayapada, Syurga dan Naraka, seperti: naga, gajah,, Widyadari, bahkan Dalam perkembangannya, ada yang dibuat menyerupai orang-orang terkenal, seperti para pemimpin dunia, artis atau tokoh agama bahkan penjahat. Terkait hal ini, ada pula yang berbau politik atau SARA walaupun sebetulnya hal ini menyimpang dari prinsip dasar Ogoh-ogoh. Contohnya Ogoh-ogoh yang menggambarkan seorang teroris.

In its primary function, the statue as a representation Bhuta Kala, made by Nyepi Day and paraded around the village en masse at dusk Pangrupukan, a day before Nyepi Day.
Dalam fungsi utamanya, Ogoh-ogoh sebagai representasi Bhuta Kala, dibuat menjelang Hari Nyepi dan diarak beramai-ramai keliling desa pada senja hari Pangrupukan, sehari sebelum Hari Nyepi.

According to scholars and practitioners of the Hindu Dharma, it symbolizes the power of human conviction of the universe and time that is most powerful. That power includes the power Bhuana Great (universe) and Bhuana Alit (human beings). In view of Tattwa (philosophy), this power can deliver living beings, particularly humans and the rest of the world to happiness or destruction. This all depends on the intention of the noble man, as God's most precious creatures in keeping himself and the whole world.
Menurut para cendekiawan dan praktisi Hindu Dharma, proses ini melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dashyat. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan Bhuana Agung (alam raya) dan Bhuana Alit (diri manusia). Dalam pandangan Tattwa (filsafat), kekuatan ini dapat mengantarkan makhluk hidup, khususnya manusia dan seluruh dunia menuju kebahagiaan atau kehancuran. Semua ini tergantung pada niat luhur manusia, sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia dalam menjaga dirinya sendiri dan seisi dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar